Minggu, 05 Agustus 2012

iman bukan keyakinan hati semata


Alhamdulillah wa Sholatu wa Salamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala Alihi wa Ashabihi Ajma’in. Amma ba’du,
Begitu banyak diantara kaum muslimin yang belum mengerti apa itu iman yang benar. Di antara mereka ada juga yang berpaham (Allahu a’lam karena kekurangtahuan dan pemahaman yang telah ditanamkan sejak sekolah dasar) bahwa iman itu adalah kayakinan hati semata. Untuk itulah kami memandang penting untuk mengetengahkan pembahasan dalam masalah ini.
[Kembalikan Kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan Pemahaman Salaful ‘Ummah]
Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mengembalikan seluruh permasalahan agama yang dihadapinya kepada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman salaful ummah yang lebih dahulu dalam ilmu, iman dan amal.
Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. [ QS. An Nisa’ (4) : 59]
Maka marilah kita jadikan hal ini sebagai pegangan pertama dalam masalah yang akan kita bahas di sini.
[Definisi Iman Menurut Ulama Kaum Muslimin Ahlus Sunnah wal Jama’ah]
قال الحاكم في مناقب الشافعي حدثنا أبو العباس الأصم أخبرنا الربيع قال سمعت الشافعي يقول الإيمان قول وعمل يزيد وينقص
Al Hakim menyebutkan di dalam Manaqib Asy Syafi’i, “Abul Abbas Al Ashom (Muhammad bin Ya’kub bin Yusuf seorang ahli hadits wafat 346 H) telah mengabarkan kepada kami, dia mengatakan, “Sesungguhnya Ar Robi’ berkata, “Aku mendengar imam Asy Syafi’i (150-204 H) mengatakan, “Iman adalah perkataan dan amal, dapat bertambah dan berkurang[1].
Al Lalikai Rohimahullah (Wafat 418 H) mengatakan,
قال الشافعي رحمه الله في كتاب الأم في باب النية في الصلاة : نحتج بأن لا تجزئ صلاة إلا بنية ؛ لحديث عمر بن الخطاب عن النبي صلى الله عليه وسلم : – « إنما الأعمال بالنية » ثم قال : وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر
Imam Asy Syafi’i Rohimahullah mengatakan dalam kitab Al ‘Um Bab Niat dalam Sholat, “Kami berpendapat bahwa tidaklah sah sholat kecuali di dahului niat berdasarkan hadits ‘Umar bin Al Khoththob Rodhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya setiap amal bersama dengan niatnya”. Kemudian beliau mengatakan, “Merupakan sebuah ijma’/sepakat para sahabat dan tabi’in yaitu orang-orang setelah mereka yang bertemu dengan mereka bahwa iman adalah perkataan, amal/perbuatan dan niat, tidaklah salah satu dari ketiga hal tersebut tanpa yang lainnya[2].
Beliau juga meriwayatkan dari Al Imam Al Bukhori (194-256 H) Rohimahullah dengan sanadnya, bahwa Al Imam Al Bukhori Rohimahullah mengatakan,
لقيت أكثر من ألف رجل من أهل العلم أهل الحجاز ومكة والمدينة والكوفة والبصرة ……… أن الدين قول وعمل
“Aku bertemu lebih dari seribu ahli ilmu/ulama dari Hijaj, Mekah, Madinah, Kufah, Bashroh ……. (dan lain-lain yang banyak sekali) (bahwa mereka semua mengatakan) “Sesunggunya agama/iman adalah perkataan dan amal/perbuatan[3].
Ibnu Abdil Barr Rohimahullah (368-463 H) mengatakan, “Abul Qosim ‘Ubaidillah bin Umar Al Baghdadi Asy Syafi’i menyebutkan, “Muhammad bin ‘Ali telah mengabarkan kepada kami, dia mengatakan, “Sesungguhnya Ar Robi’ pernah mendengar Asy Syafi’i mengatakan, “Iman adalah perkataan, amal/perbuatan dan keyakinan hati. Tidakkah engkau pernah melihat firman Allah ‘Azza wa Jalla
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu”. (QS. Al Baqoroh [2] : 143)
Yang dimaksud iman dalam ayat ini adalah sholat kalian ketika masih menghadap ke Baitul Maqdis. Maka Allah menyebut sholat dalam ayat ini dengan sebutan iman yaitu terdiri dari perkataan, amal/perbuatan dan keyakinan hati”[4].
Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Abdis Salam (157-224 H) Rohimahullah mengatakan, “”
فالأمر الذي عليه السنة عندنا ما نص عليه علماؤنا مما اقتصصنا في كتابنا هذا : أن الإيمان بالنية والقول والعمل جميعا ، وأنه درجات بعضها فوق بعض
Perkara yang sesuai dengan Sunnah bagi kami dan yang ditegaskan oleh ulama kami yang kami cantumkan dalam kitab kami ini, bahwa sesungguhnya iman adalah niat, perkataan dan amal/perbuatan seluruhnya. Masing-masing diantaranya ada yang derajatnya lebih tinggi dari yang lainnya”[5].
Al Imam Muhammad bin Al Husain Al Ajurri Rohimahullah (Wafat 360 H) mengatan,
اعلموا رحمنا الله وإياكم أن الذي عليه علماء المسلمين أن الإيمان واجب على جميع الخلق ، وهو تصديق بالقلب ، وإقرار باللسان ، وعمل بالجوارح ،
ثم اعلموا أنه لا تجزئ المعرفة بالقلب والتصديق إلا أن يكون معه الإيمان باللسان نطقا ، ولا تجزيء معرفة بالقلب ، ونطق باللسان ، حتى يكون عمل بالجوارح ،
فإذا كملت فيه هذه الثلاث الخصال : كان مؤمنا دل على ذلك القرآن ، والسنة ، وقول علماء المسلمين
“Ketahuilah semoga Allah merahmati kami dan anda sekalian, sesungguhnya sebuah perkara yang dipegangi oleh ulama kaum muslimin bahwa iman yang wajib bagi setiap manusia (kaum muslimin) adalah pembenaran dengan hati, ikrar dengan lisan dan amal/perbuatan anggota badan.
Kemudian ketahuilah sesungguhnya tidak lah sah/teranggap pengetahuan/pengakuan dan pembenaran seseorang dengan hatinya melainkan harus desertai dengan ikrar dengan lisan. Tidaklah sah/teranggap pengetahuan/pengakuan seseorang dengan hatinya dan ikrar dengan lisan melainkan harus disertai dengan amal/perbuatan anggota badan.
Maka jika lengkap ketiga hal ini maka orang tadi menjadi orang yang beriman, hal ini ditunjukkan dalilnya dalam Al Qur’an, Sunnah/hadits dan perkataan/pendapat ulam kaum muslimin”[6].
Al Baghowi (wafat 516 H) Rohimahullah mengatakan,
اتفقت الصحابة والتابعون ، فمن بعدهم من علماء السنة على أن الأعمال من الإيمان ، لقوله
سبحانه وتعالى : إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
“Para Sahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama sunnah sepakat bahwa sesungguhnya amal/perbuatan adalah bagian dari iman berdasarkan firman Allah Subhana wa Ta’ala, (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang berimanialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka”. (QS. Al Anfal [8] : 2)
Mereka mengatakan,
إن الإيمان قول وعمل وعقيدة ، يزيد بالطاعة ، وينقص بالمعصية
“Sesungguhnya iman adalah perkataan, amal dan aqidah/keyakinan hati. Bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kemaksiatan”[7].
Abu ‘Utsman ‘Isma’il bin Abdur Rohman Ash Shobuni Asy Syafi’i  Rohimahullah (373-449 H) mengatakan,
“Diantara keyakinan Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu iman adalah  perkataan, amal perbuatan dan pengetahuan/pengakuan (dengan hati). Bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kemaksiatan”[8].
Beliau kemudian menyampaikan banyak sekali riwayat dari Imam-iman kaum muslimin diantaranya Imam Malik, Hisyam bin Hasan, Ibnu Juraij Sufyan Ats Tsauri, Al Mustanna bin Shibah, Fudhail bin ‘Iyadh, Sufyan bin Uyaynah semuanya mengatakan bahwa iman adalah perkataan (hati dan lisan) dan amal/perbuatan[9].
Sehingga kami kira cukup menyampaikan kalam ulama dalam masalah ini, walaupun kalau diteruskan akan banyak sekali ulama yang berpendapat demikian.
[Diantara Dalil Ulama’ Kaum Muslimin dalam Permasalahan Iman]
Maka kita akan beralih kepada dalil-dalil permasalahan ini baik dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu”. (QS. Al Baqoroh [2] : 143)
Yang dimaksud iman dalam ayat ini adalah sholat kalian[10] ketika masih menghadap ke Baitul Maqdis. Maka Allah menyebut sholat dalam ayat ini dengan sebutan iman yaitu terdiri dari perkataan, amal/perbuatan dan keyakinan hati. Sisi pendalilannya adalah Allah maksudkan sholat dengan sebutan iman. Sebuah hal yang kita ketahui bersama bahwa dalam sholat itu ada keyakinan hati (niat), perkataan (dzikir-dzikir yang ada dalam gerakan sholat dan bacaan Al Qur’an) dan perbuatan (gerakan-gerakan sholat)[11].
Adapun dalil dari Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam maka akan banyak sekali kita temui. Namun untuk memperjelas kami sampaikan dalil yang menunjukkan satu persatu bagian dari iman agar mempermudahnya.
[1]. Dalil yang menunjukkan bahwa perkataan lisan merupakan bagian dari iman.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada utusan bani Abdul Qois,
آمَرَكُمْ بِأَرْبَعٍ وَ أَنْهَاكُمْ عَنْ أَرْبَعٍ آمَرَكُمْ بِالْإِيْمَانِ بِاللهِ وَحْدَهُ أَتَدْرُوْنَ مَا الْإِيْمَانُ بِاللهِ وَحْدَهُ ؟ قَالُوْا اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ …….
“Aku (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) memerintahkan 4 hal dan melarang 4 hal. Aku memerintahkan kalian agar beriman kepada Allah semata. Tahukah kalian apa itu beriman kepada Allah semata ?” Mereka menjawab, “Allah dan RosulNya yang lebih tahu”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Syahadat Laa Ilaaha Illallah dan Muhammad Rosulullah ……”[12].
Kita ketahui bersama bahwa syahadat adalah perkataan lisan, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjadikannya bagian dari iman.
[2]. Dalil yang menunjukkan bahwa amal/perbuatan merupakan bagian dari iman
Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika ditanya oleh seorang dari negeri Syam,
أَيُّ الْإِيمَانِ أَفْضَلُ قَالَ الْهِجْرَةُ\خُلُقٌ حَسَنٌ
“Apakah iman yang paling utama?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Hijroh (dalam riwayat lain akhlak yang mulia)”[13].
Kita ketahui bersama bahwa hijroh/akhlak mulia adalah amal/perbuatan anggota badan dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjadikannya bagian dari iman bahkan iman yang paling utama.
[3]. Dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan/keyakinan/pembenaran hati merupakan bagian dari iman
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Malu merupakan cabang dari iman”[14].
Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga dia mencintai aku (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) lebih dicintainya dari pada anak, orang tua dan manusia seluruhnya”[15].
Kita ketahui bersama bahwa malu dan cinta merupakan perbuatan/keyakinan hati dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjadikan itu bagian dari iman.
Sebagai penutup kami sampaikan dalil yang menunjukkan 3 hal tadi merupakan bagian dari iman dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia ubah dengan tangannya/kekuasaannya, apabila dia tidak mampu maka dengan lisannya dan apabila tidak mempu maka dengan hatinya. Yang demikian itu selemah-lemah iman[16].
Mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan amal dan pembaca sebagai tambahan ilmu dan amal.
Selepas Isya’, 22 Jumadil Akhir 1433 H/ 14 Mei 2012 M
Aditya Budiman bin Usman
-Semoga Allah menjauhkan kami dari api neraka-
Penulis: Aditya Budiman
Artikel Muslim.Or.Id


[1] Lihat Fathul Bari hal. 47/I terbitan Darul Ma’rifah Beirut, Lebanon.
[2] Lihat Syarh Ushul I’tiqod Ahlu Sunnah wal Jama’ah oleh Al Lalikai hal. 267/V terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA
[3] Idem hal. 317/I.
[4] Lihat Al Intiqo’ hal. 81 dan Manaqib Asy Syafi’i oleh Ar Rozi hal. 131 (Manhaj Al Imam Asy Syafi’i oleh DR. Muhammad bin Abdul Wahab Al ‘Aqil hal. 163 terbitan Adwa’us Salaf, Riyadh, KSA.)
[5] Lihat Kitab Al Iman Oleh Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Abdus Salam dengan tahqiq Al Albani hal. 34 terbitan Maktabah Ma’arif, Riyadh, KSA.
[6] Lihat Asy Syar’iyah oleh Al Ajurri dengan tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi hal. 227/I terbitan Anshorus Sunnah Al Muhammadiyah, Kairo, Mesir.
[7] Lihat Syarhu Sunnah oleh Husain bin Mas’ud Al Baghowi dengan tahqiq Syu’aib Al Arnauth hal. 38-39/I  terbitan Al Maktab Al Islami, Beirut, Lebanon.
[8] Lihat Aqidah As Salaf wa Ashabu Al Hadits oleh Ash Shobuni dengan tahqiq DR. Nashir bin Abdur Rohman bin Muhammad Al Judai’ hal. 264 terbitan Darul Ashimah, Riyadh, KSA.
[9] Idem hal. 266-270
[10] Sebagaimana dalam HR. Bukhori no. 4486 dan Muslim no. 252
[11] Penjelasan senada dijelaskan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dalam Syarh Aqidah Wasithiyah hal. 447 terbitan Dar Ibnu Jauzi, Riyadh, KSA.
[12] HR. Bukhori no. 53 dan Muslim no. 17 dari jalur ‘Abdullah bin ‘Abbas Rodhiyallahu ‘anhuma
[13] HR. Ahmad no. 19435 dinilai shohih lighoirihi oleh Syu’aib Al Arnauth dan dinilai shohih oleh Al Albani dalam Ash Shohihah hal. 551
[14] HR. Bukhori no. 9 dan Muslim 35
[15] HR. Bukhori no. 14 dan Muslim 44
[16] HR. Muslim no. 186

bagaimana mencari Ridho Allah S.W.T

Ridho Allah adalah dambaan setiap muslim yang menyadari bahwa itulah harta termahal yang pantas diperebutkan oleh manusia.Tanpa ridho Allah,hidup kita akan hampa,kering,tidak dapat merasakan nikmat atas segala apa yang telah ada di genggaman kita,bermacam masalah silih berganti menyertai hidup kita.Harta berlimpah,makanan berlebih namun ketika tidak ada ridhoNya,semua menjadi hambar. Tidak tahu kemana tujuan hidup,merasa bosan dengan keadaan, seolah hari berlalu begitu saja,begitu cepat namun tanpa disertai dengan perubahan kebaikan hari demi hari. Sehingga merasa mengapa hidup hanya begini-begini saja?

Rosulullah SAW. Bersabda yang maknanya: “Barangsiapa yang membaca :
رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا ورسولا
(aku rela menjadikan Allah sebagai Rabb ku dan Islam agamaku serta Muhammad adalah nabi dan rosul) maka Allah berhak untuk meridhainya”.
Namun hendaknya kita mengetahui makna dan konsekwensi dari apa yang diikrarkan, sehingga tidak hanya sekedar ucapan lisan belaka namun juga menjadi realitas dalam perbuatan sehari-hari.
Allah sebagai Rabb yang kita ikrarkan bermakna juga pasrah terhadap rencana dan pilihan-Nya, menerima dengan suka cita pahit getirnya kodrat yang digariskan, juga menerima degan apa yang Allah anugerahi. Selalu dalam bingkai ketaatan pada-Nya, selalu menjaga apa saja yang diwajibkan serta menjauhi semua larangan-laranganNya. Sabar saat ditimpa musibah, bersyukur atas nikmat yang diberiakan, rindu untuk berjumpa dengan-Nya, ikhlas dalam menjalani ibadah, selalu menjadikan Allah tempat bersandar dan hanya memohon pertolongan pada-Nya.

Sedang rela dengan agama Islam berarti pengagungan kita pada segala ritualnya, selalu proaktif dengan apa-apa yang dianjurkan,semangat menambah ilmu tentang Islam dan istiqomah dalam beramal, bangga dengan Islam serta berbahagia di dalamnya, selalu khawatir lepas dari Islam (murtad), menghormati kepada saudara seiman dan seislam serta benci kepada mereka yang mengingkari kebenaran agama Islam.
Dan yang terakhir, mengakui Muhammad SAW. sebagai nabi berarti kita harus menjadikannya panutan, mengikuti petunjuk-petunjuknya, menjalankan syari’at yang dibawa, memegang teguh sunnah-sunnahnya, mengagungkan apa yang menjadi haknya, selalu banyak bersholawat, cinta pada keluarganya (Ahlul Bait) serta para sahabat-sahabatnya, juga sayang pada ummatnya dan selalu nasehat menasehati.
Semoga yang sedikit ini dapat menjadikan diri ini selalu ingat akan kebesaran agama Islam yang tiada keraguan sedikitpun di dalamnya, tidak silau dengan tipuan dunia yang gemerlap karena kita yakin bahwa alam akherat adalah sebenar-benarnya kehidupan.

Dalam bahasa arabnya ridho Allah ternyata dilafashkan dengan wajhaAllah atau wajah Allah.Sering kita dengar perumpamaan ‘ih orang itu cari muka [wajah]‘ maksudnya cari perhatian. Demikian pula jika kita mencari wajah Allah atau perhatian Allah atau yang lebih populer ridhoNya maka pasti ada yang mesti kita lakukan. Apa? telah dijelaskan pada ayat di atas,yaitu memberikan haknya kerabat dekat,hak orang miskin,hak orang yang sedang dalam perjalanan. Itulah sebagian cara yang ditunjukkan Allah pada kita untuk mendapatkan ridhoNya disamping kita wajib selalu bertaqwa padaNya,istiqomah dalam ibadah,dan masih banyak lagi yang bisa mengundang RahmatNya bukan justru mendatangkankan murkaNya.
Memberikan hak orang yang dimaksud Allah bukan hanya bisa dilakukan oleh orang yang kelebihan harta namun bisa dilakukan oleh orang yang sadar dan ikhlas bahwa letak ketentraman hidup itu ada pada restu,ridho dan rahmat Allah.Boleh jadi rezeki yang Allah berikan pada kita hanya pas untuk makan sehari hari dan biaya hidup keluarga,namun ketika Allah telah berkenan memberi ridhoNya,rezeki yang pas itu menjadi berkah…keluarga sakinah,hati tentram,keluarga sehat wal afiat,tidak diberikan penyakit yang menguras rezeki kita,diberi keringanan beribadah,baik sholat,zakat,sedekah,sehingga hari hari yang dilalui dalam hidup penuh dengan rasa syukur.
Ridho Allah Juga bermanfaat unutk mencari kebahaigiaan atau kemakmuran di dunia ini, tapi sebenarnya apakah kebahagiaan dunia itu, unutk mengtahui indikator dunia silahkan 
http://www.uwsp.edu/geo/faculty/ritter/images/lithosphere/mass_wasting_erosion/rain_splash_NRCS_p0000003256_small.jpg

lenyaplah keberkahan ilmu


Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah. Amma ba’du.
Seorang penuntut ilmu, tentu tidak menginginkan ilmunya hilang begitu saja tanpa bekas. Terlebih lagi, jika yang hilang itu adalah keberkahan ilmunya. Alias ilmu yang dipelajarinya tidak menambah dekat dengan Allah ta’ala, namun justru sebaliknya, wal ‘iyadzu billah
Tidak sedikit, kita jumpai para penuntut ilmu syar’i yang berusaha untuk mengkaji kitab para ulama, bahkan bermajelis dengan para ulama dalam rangka menyerap ilmu dan arahan mereka. Tentu saja, perkara ini adalah sesuatu yang sangat-sangat harus kita syukuri. Karena dengan kokohnya ilmu dalam diri setiap pribadi muslim, niscaya agamanya akan tertopang landasan yang kuat. Sering kita dengar, ucapan yang sangat populer dari seorang Imam, Amirul Mukminin dalam bidang hadits, Muhammad bin Isma’il al-Bukhari rahimahullah di dalam Kitab Shahihnya yang menegaskan, “Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.”
Begitu pula, perkataan Imam Ahlus Sunnah di masanya Ahmad bin Hanbal rahimahullahyang sangat terkenal, “Umat manusia sangat membutuhkan ilmu jauh lebih banyak daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.” (lihat al-’Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, tahqiq Syaikh Ali al-Halabi hafizhahullah).
Akan tetapi, tatkala ilmu yang dikaji, dihafalkan, dan didalami itu tidak sampai meresap serta tertancap kuat ke dalam lubuk hati, maka justru musibah dan bencana yang ditemui. Tidakkah kita ingat ungkapan emas para ulama salaf yang menyatakan, “Orang-orang yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan Nasrani.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id min Surah al-Fatihaholeh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah). Apa yang mereka katakan adalah kenyataan yang amat sering kita jumpai. Itu bukanlah dongeng atau cerita fiksi.
Saudaraku, semoga Allah menjaga diriku dan dirimu… Masih tersimpan dalam ingatan kita, doa yang sepanjang hari kita panjatkan kepada Allah, “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka, dan bukan jalannya orang-orang yang dimurkai (Yahudi) dan bukan pula orang-orang yang sesat (Nasrani).” Inilah doa yang sangat ringkas namun penuh dengan arti. Bahkan, Syaikhul Islam Abul Abbas al-Harrani rahimahullah pun menyebutnya sebagai doa yang paling bermanfaat, mengingat kandungannya yang sangat dalam dan berguna bagi setiap pribadi. Kaum Yahudi dimurkai karena mereka berilmu namun tidak beramal. Adapun kaum Nasrani tersesat karena mereka beramal tanpa landasan ilmu. Maka, orang yang berada di atas jalan yang lurus adalah yang memadukan antara ilmu dan amalan.
Dari sinilah, kita mengetahui, bahwa hakekat keilmuan seseorang tidak diukur dengan banyaknya hafalan yang dia miliki, banyaknya buku yang telah dia beli, banyaknya kaset ceramah yang telah dia koleksi, banyaknya ustadz atau bahkan ulama yang telah dia kenali, tidak juga deretan titel akademis yang dibanggakan kesana-kemari. Kita masih ingat, ucapan sahabat Nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu“Bukanlah ilmu itu diukur dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi pokok dari ilmu adalah khas-yah/rasa takut -kepada Allah-.” (lihat al-Fawa’id karya Ibnul Qayyimrahimahullah).
Oleh sebab itulah, kita dapati para ulama salaf sangat keras dalam berjuang menggapai keikhlasan dan menaklukkan hawa nafsu serta ambisi-ambisi duniawi. Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, beliau berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih berat daripada niatku.” (lihat Hilyah Thalib al-’Ilm oleh Syaikh Bakr Abu Zaidrahimahullahu rahmatan wasi’ah).  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya setiap amal itu dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang hanya akan meraih balasan sebatas apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya [tulus] karena Allah dan Rasul-Nya niscaya hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena [perkara] dunia yang ingin dia gapai atau perempuan yang ingin dia nikahi, itu artinya hijrahnya akan dibalas sebatas apa yang dia inginkan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ikhlas, bukanlah ucapan yang terlontar di lidah, huruf yang tertulis dalam catatan, banyaknya harta yang telah kita sumbangkan untuk kebaikan, lamanya waktu kita berdakwah, atau penampilan fisik yang tampak oleh mata. Ikhlas adalah ‘permata’ yang tersimpan di dalam hati seorang mukmin yang merendahkan hati dan jiwa-raganya kepada Rabb penguasa alam semesta. Inilah kunci keselamatan dan keberhasilan yang akan menjadi sebab terbukanya gerbang ketentraman dan hidayah dari Allah ta’ala. Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan memperoleh keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. al-An’am: 82). Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari [kiamat] tidak lagi berguna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan tetapi yang dipandang adalah hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Sementara kita semua mengetahui, bahwa tanpa keikhlasan tak ada amal yang akan diterima, Allahul musta’an.
Kita juga masih ingat, nasehat emas Ahli Hadits kontemporer yang sangat terkenal Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam kitab-kitabnya supaya kita tidak menjadi orang yang memburu popularitas. Beliau mengutip ungkapan para ulama kita terdahulu, Hubbuzh zhuhur yaqtha’uzh zhuhurMenyukai ‘ketinggian’ akan mematahkan punggung.”Maknanya, gila popularitas akan menyebabkan kebinasaan, kurang lebih demikian… Allah berfirman (yang artinya), “Berikanlah peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan berguna bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat: 55).
Ikhlas -wahai saudaraku- … adalah rahasia kesuksesan dakwah nabi dan rasul serta para pendahulu kita yang salih. Berapapun jumlah orang yang tunduk mengikuti seruan mereka, mereka tetap dinilai berhasil dan telah menunaikan tugasnya dengan baik. Mereka tidak dikatakan gagal, meskipun ayahnya  sendiri produsen berhala, meskipun anaknya sendiri menolak perintah Rabbnya, meskipun pamannya sendiri tidak mau masuk Islam yang diserukannya, meskipun tidak ada pengikutnya kecuali satu atau dua saja, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali…! Mereka, adalah suatu kaum yang mendapatkan pujian dan keutamaan dari Allah karena keikhlasan dan ketaatan mereka kepada Rabbnya, karena ilmu dan amalan yang mereka miliki. Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itulah yang akan bersama dengan kaum yang mendapatkan kenikmatan dari Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)
Kalau kita memang ikhlas -wahai saudaraku- niscaya kita akan merasa senang apabila saudara kita mendapatkan hidayah, entah itu melalui tangan kita atau tangan orang lain… Kalau kita memang ikhlas -wahai saudaraku- maka amalan sekecil apapun tidak akan pernah kita sepelekan! Ibnu Mubarak rahimahullah mengingatkan, “Betapa banyak amalan kecil yang menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ al-’Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab). Semoga Allah memberikan karunia keikhlasan kepada kita...

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah. Amma ba’du.
Seorang penuntut ilmu, tentu tidak menginginkan ilmunya hilang begitu saja tanpa bekas. Terlebih lagi, jika yang hilang itu adalah keberkahan ilmunya. Alias ilmu yang dipelajarinya tidak menambah dekat dengan Allah ta’ala, namun justru sebaliknya, wal ‘iyadzu billah
Tidak sedikit, kita jumpai para penuntut ilmu syar’i yang berusaha untuk mengkaji kitab para ulama, bahkan bermajelis dengan para ulama dalam rangka menyerap ilmu dan arahan mereka. Tentu saja, perkara ini adalah sesuatu yang sangat-sangat harus kita syukuri. Karena dengan kokohnya ilmu dalam diri setiap pribadi muslim, niscaya agamanya akan tertopang landasan yang kuat. Sering kita dengar, ucapan yang sangat populer dari seorang Imam, Amirul Mukminin dalam bidang hadits, Muhammad bin Isma’il al-Bukhari rahimahullah di dalam Kitab Shahihnya yang menegaskan, “Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.”
Begitu pula, perkataan Imam Ahlus Sunnah di masanya Ahmad bin Hanbal rahimahullahyang sangat terkenal, “Umat manusia sangat membutuhkan ilmu jauh lebih banyak daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.” (lihat al-’Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, tahqiq Syaikh Ali al-Halabi hafizhahullah).
Akan tetapi, tatkala ilmu yang dikaji, dihafalkan, dan didalami itu tidak sampai meresap serta tertancap kuat ke dalam lubuk hati, maka justru musibah dan bencana yang ditemui. Tidakkah kita ingat ungkapan emas para ulama salaf yang menyatakan, “Orang-orang yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan Nasrani.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id min Surah al-Fatihaholeh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah). Apa yang mereka katakan adalah kenyataan yang amat sering kita jumpai. Itu bukanlah dongeng atau cerita fiksi.
Saudaraku, semoga Allah menjaga diriku dan dirimu… Masih tersimpan dalam ingatan kita, doa yang sepanjang hari kita panjatkan kepada Allah, “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka, dan bukan jalannya orang-orang yang dimurkai (Yahudi) dan bukan pula orang-orang yang sesat (Nasrani).” Inilah doa yang sangat ringkas namun penuh dengan arti. Bahkan, Syaikhul Islam Abul Abbas al-Harrani rahimahullah pun menyebutnya sebagai doa yang paling bermanfaat, mengingat kandungannya yang sangat dalam dan berguna bagi setiap pribadi. Kaum Yahudi dimurkai karena mereka berilmu namun tidak beramal. Adapun kaum Nasrani tersesat karena mereka beramal tanpa landasan ilmu. Maka, orang yang berada di atas jalan yang lurus adalah yang memadukan antara ilmu dan amalan.
Dari sinilah, kita mengetahui, bahwa hakekat keilmuan seseorang tidak diukur dengan banyaknya hafalan yang dia miliki, banyaknya buku yang telah dia beli, banyaknya kaset ceramah yang telah dia koleksi, banyaknya ustadz atau bahkan ulama yang telah dia kenali, tidak juga deretan titel akademis yang dibanggakan kesana-kemari. Kita masih ingat, ucapan sahabat Nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu“Bukanlah ilmu itu diukur dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi pokok dari ilmu adalah khas-yah/rasa takut -kepada Allah-.” (lihat al-Fawa’id karya Ibnul Qayyimrahimahullah).
Oleh sebab itulah, kita dapati para ulama salaf sangat keras dalam berjuang menggapai keikhlasan dan menaklukkan hawa nafsu serta ambisi-ambisi duniawi. Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, beliau berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih berat daripada niatku.” (lihat Hilyah Thalib al-’Ilm oleh Syaikh Bakr Abu Zaidrahimahullahu rahmatan wasi’ah).  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya setiap amal itu dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang hanya akan meraih balasan sebatas apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya [tulus] karena Allah dan Rasul-Nya niscaya hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena [perkara] dunia yang ingin dia gapai atau perempuan yang ingin dia nikahi, itu artinya hijrahnya akan dibalas sebatas apa yang dia inginkan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ikhlas, bukanlah ucapan yang terlontar di lidah, huruf yang tertulis dalam catatan, banyaknya harta yang telah kita sumbangkan untuk kebaikan, lamanya waktu kita berdakwah, atau penampilan fisik yang tampak oleh mata. Ikhlas adalah ‘permata’ yang tersimpan di dalam hati seorang mukmin yang merendahkan hati dan jiwa-raganya kepada Rabb penguasa alam semesta. Inilah kunci keselamatan dan keberhasilan yang akan menjadi sebab terbukanya gerbang ketentraman dan hidayah dari Allah ta’ala. Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan memperoleh keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. al-An’am: 82). Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari [kiamat] tidak lagi berguna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan tetapi yang dipandang adalah hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Sementara kita semua mengetahui, bahwa tanpa keikhlasan tak ada amal yang akan diterima, Allahul musta’an.
Kita juga masih ingat, nasehat emas Ahli Hadits kontemporer yang sangat terkenal Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam kitab-kitabnya supaya kita tidak menjadi orang yang memburu popularitas. Beliau mengutip ungkapan para ulama kita terdahulu, Hubbuzh zhuhur yaqtha’uzh zhuhurMenyukai ‘ketinggian’ akan mematahkan punggung.”Maknanya, gila popularitas akan menyebabkan kebinasaan, kurang lebih demikian… Allah berfirman (yang artinya), “Berikanlah peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan berguna bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat: 55).
Ikhlas -wahai saudaraku- … adalah rahasia kesuksesan dakwah nabi dan rasul serta para pendahulu kita yang salih. Berapapun jumlah orang yang tunduk mengikuti seruan mereka, mereka tetap dinilai berhasil dan telah menunaikan tugasnya dengan baik. Mereka tidak dikatakan gagal, meskipun ayahnya  sendiri produsen berhala, meskipun anaknya sendiri menolak perintah Rabbnya, meskipun pamannya sendiri tidak mau masuk Islam yang diserukannya, meskipun tidak ada pengikutnya kecuali satu atau dua saja, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali…! Mereka, adalah suatu kaum yang mendapatkan pujian dan keutamaan dari Allah karena keikhlasan dan ketaatan mereka kepada Rabbnya, karena ilmu dan amalan yang mereka miliki. Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itulah yang akan bersama dengan kaum yang mendapatkan kenikmatan dari Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)
Kalau kita memang ikhlas -wahai saudaraku- niscaya kita akan merasa senang apabila saudara kita mendapatkan hidayah, entah itu melalui tangan kita atau tangan orang lain… Kalau kita memang ikhlas -wahai saudaraku- maka amalan sekecil apapun tidak akan pernah kita sepelekan! Ibnu Mubarak rahimahullah mengingatkan, “Betapa banyak amalan kecil yang menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ al-’Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab). Semoga Allah memberikan karunia keikhlasan kepada kita...

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Islam itu indah


Islam adalah agama Allah ‘Azza wa Jalla yang sempurna dan penuh petunjuk. Tak satu agama pun yang diridhoi-Nya selain Islam. Kemulian, keindahan, keagungan dan segala sifat yang terpuji telah menjadi cahaya Islam yang tidak akan sirna hingga hari kiamat. Betapapun kebencian orang-orang yang anti terhadapnya, namun Islam tetaplah Islam, kemulian dan keagungannya akan tetap menghiasinya walaupun musuh-musuh Allah berusaha untuk memadamkan kemilaunya, walaupun orang-orang munâfiqûn tak kenal letih dan tiada kehabisan akal dalam mendatangkan makar di tengah kebesarannya, dan walaupun segelentir penganutnya –sadar maupun tak sadar- telah mencoreng dan merusak keindahannya di mata manusia.
Ingatlah bahwa Allah Jalla Jalâluhu telah menegaskan,

“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (QS. Ash-Shof : 8-9)
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath : 28)
“Mereka (ornag-orang munâfiqûn) berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al-Munâfiqûn : 8)
Dan patut untuk diketahui bahwa akan tetap ada dari ulamanya yang akan membela dan menampakkan kebenarannya hingga hari kiamat. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mereka tetap nampak diatas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka hingga datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu.” [1]
Dan ingatlah, akan tetap ada yang akan tampil dari ulamanya guna menjawab segala tuduhan, menepis segala syubhat (kerancuan, kesamaran) dan menghancurkan seluruh makar musuh-musuhnya. Sebagaimana dalam sabda Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Ilmu (agama) ini akan disandang -pada setiap generasi- oleh orang-orang adilnya. Mereka menepis darinya tahrîf (perubahan, pembelokan) orang-orang yang melampaui batas, jalan para pengekor kebatilan dan takwîl orang-orang jahil.” [2]
Untuk memandang sedikit dari keindahan Islam itu dan untuk menghirup semerbak kewangiannya, kami mengajak para pembaca untuk memperhatikan beberapa prinsip penting dalam syari’at Islam berikut ini.

[1] Hadits Mutawâtir. Riwayat Al-Bukhâri, Muslim dan selainnya. Dilihat takhrijnya dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 270, 1955-1962 karya Imam Al-Albânyrahimahullâh. Dinyatakan mutawâtir oleh Ibnu Taimiyah dan selainnya. Baca Nazhmul Mutanâtsir Min Al-Ahâdîts Al-Mutawâtir hal. 151 karya Al-Kattâny.
[2] Diriwayatkan oleh sejumlah shahabat radhiyallâhu ‘anhum, dan ia adalah hadits yang kuat dari seluruh jalannya. Baca Bashâ`ir Dzawi Asy-Syaraf bi Marwiyyât Manhaj As-Salaf hal. 111-114 karya Salîm Al-Hilâly.

interaksi dg non-muslim

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Setelah kami membahas berkenaan dengan ucapan selamat natal, agar tidak disalahpahami, sekarang kami akan utarakan beberapa hal yang mestinya diketahui bahwa hal-hal ini tidak termasuk loyal (wala’) pada orang kafir. Dalam penjelasan kali ini akan dijelaskan bahwa ada sebagian bentuk muamalah dengan mereka yang hukumnya wajib, ada yang sunnah dan ada yang cuma sekedar dibolehkan.
Para pembaca -yang semoga dirahmati oleh Allah- kita harus mengetahui lebih dulu bahwa orang kafir itu ada empat macam:
  1. Kafir mu’ahid yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri dan di antara mereka dan kaum muslimin memiliki perjanjian.
  2. Kafir dzimmi yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dan sebagai gantinya mereka mengeluarkan jizyah (semacam upeti) sebagai kompensasi perlindungan kaum muslimin terhadap mereka.
  3. Kafir musta’man yaitu orang kafir masuk ke negeri kaum muslimin dan diberi jaminan keamanan oleh penguasa muslim atau dari salah seorang muslim.
  4. Kafir harbi yaitu orang kafir selain tiga jenis di atas. Kaum muslimin disyari’atkan untuk memerangi orang kafir semacam ini sesuai dengan kemampuan mereka. (Lihat Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, hal. 232-234)
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang diwajibkan adalah:
Pertama: Memberikan rasa aman kepada kafir dzimmi dan kafir musta’man selama ia berada di negeri kaum muslimin sampai ia kembali ke negerinya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah: 6)
Kedua: Berlaku adil dalam memutuskan hukum antara orang kafir dan kaum muslimin, jika mereka berada di tengah-tengah penerapan hukum Islam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah: 8)
Ketiga: Mendakwahi orang kafir untuk masuk Islam. Ini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian sudah mendakwahi mereka maka yang lain gugur kewajibannya. Karena mendakwahi mereka berarti telah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjenguk mereka ketika sakit, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk anak kecil yang beragama Yahudi untuk diajak masuk Islam. Akhirnya ia pun masuk Islam.
Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Dulu pernah ada seorang anak kecil Yahudi yang mengabdi pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu suatu saat ia sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, lalu beliau mengatakan, “Masuklah Islam.” Kemudian anak kecil itu melihat ayahnya yang berada di sisinya. Lalu ayahnya mengatakan, “Taatilah Abal Qosim (yaitu Rasulullah) –shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. Akhirnya anak Yahudi tersebut masuk Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak tersebut dari siksa neraka.”( HR. Bukhari no. 1356)
Keempat: Diharamkan memaksa orang Yahudi, Nashrani dan kafir lainnya untuk masuk Islam. Karena Allah Ta’ala berfirman,
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah: 256). Ibnu Katsir mengatakan, “Janganlah memaksa seorang pun untuk masuk ke dalam Islam. Karena kebenaran Islam sudah begitu jelas dan gamblang. Oleh karenanya tidak perlu ada paksaan untuk memasuki Islam. Namun barangsiapa yang Allah beri hidayah untuk menerima Islam, hatinya semakin terbuka dan mendapatkan cahaya Islam, maka ia berarti telah memasuki Islam lewat petunjuk yang jelas. Akan tetapi, barangsiapa yang masih tetap Allah butakan hati, pendengaran dan penglihatannya, maka tidak perlu ia dipaksa-paksa untuk masuk Islam.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 1/682, Dar Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H)
Cukup dengan sikap baik (ihsan) yang kita perbuat pada mereka membuat mereka tertarik pada Islam, tanpa harus dipaksa.
Kelima: Dilarang memukul atau membunuh orang kafir (selain kafir harbi). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahid ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)
Keenam: Tidak boleh bagi seorang muslim pun menipu orang kafir (selain kafir harbi) ketika melakukan transaksi jual beli, mengambil harta mereka tanpa jalan yang benar, dan wajib selalu memegang amanat di hadapan mereka. Karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
Ingatlah! Barangsiapa berlaku zholim terhadap kafir Mu’ahid, mengurangi haknya, membebani mereka beban (jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta mereka tanpa keridhoan mereka, maka akulah nantinya yang akan sebagai hujah mematahkan orang semacam itu.” ( HR. Abu Daud no. 3052, dinilai shahih oleh Al Albani)
Ketujuh: Diharamkan seorang muslim menyakiti orang kafir (selain kafir harbi) dengan perkataan dan dilarang berdusta di hadapan mereka. Jadi seorang muslim dituntut untuk bertutur kata dan berakhlaq yang mulia dengan non muslim selama tidak menampakkan rasa cinta pada mereka. Allah Ta’ala berfirman,
Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al Baqarah: 83). Berkata yang baik di sini umum kepada siapa saja.
Kedelapan: Berbuat baik kepada tetangga yang kafir (selain kafir harbi) dan tidak mengganggu mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Jibril terus menerus memberi wasiat kepadaku mengenai tetangga sampai-sampai aku kira tetangga tersebut akan mendapat warisan.” (HR. Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2625)
Kesembilan: Wajib membalas salam apabila diberi salam oleh orang kafir. Namun balasannya adalah wa ‘alaikum. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Jika salah seorang dari Ahlul Kitab mengucapkan salam pada kalian, maka balaslah: Wa ‘alaikum.( HR. Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163)
Akan tetapi, kita dilarang memulai mengucapkan salam lebih dulu pada mereka. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam ucapan salam.” (HR. Tirmidzi no. 1602 dan Ahmad 2/266, dinilai shahih oleh Al Albani)
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang dibolehkan dan dianjurkan adalah:
Pertama: Dibolehkan mempekerjakan orang kafir dalam pekerjaan atau proyek kaum muslimin selama tidak membahayakan kaum muslimin.
Kedua: Dianjurkan berbuat ihsan (baik) pada orang kafir yang membutuhkan seperti memberi sedekah kepada orang miskin di antara mereka atau menolong orang sakit di antara mereka. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.”( HR. Bukhari no. 2466 dan Muslim no. 2244)
Ketiga: Tetap menjalin hubungan dengan kerabat yang kafir (seperti orang tua dan saudara) dengan memberi hadiah atau menziarahi mereka. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Keempat: Dibolehkan memberi hadiah pada orang  kafir agar membuat mereka tertarik untuk memeluk Islam, atau ingin mendakwahi mereka, atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Kelima: Dianjurkan bagi kaum muslimin untuk memuliakan orang kafir ketika mereka bertamu sebagaimana boleh bertamu pada orang kafir dan bukan maksud diundang. Namun jika seorang muslim diundang orang kafir dalam acara mereka, maka undangan tersebut tidak perlu dipenuhi karena ini bisa menimbulkan rasa cinta pada mereka.
Keenam: Boleh bermuamalah dengan orang kafir dalam urusan dunia seperti melakukan transaksi jual beli yang mubah dengan mereka atau mengambil ilmu dunia yang bernilai mubah yang mereka miliki (tanpa harus pergi ke negeri kafir).
Ketujuh: Diperbolehkan seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya. Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) haram untuk dinikahi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5). Ingat, seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab hanyalah dibolehkan dan bukan diwajibkan atau dianjurkan.
Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan orang kafir mana pun baik ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) dan selain ahlul kitab karena Allah Ta’ala berfirman,
Mereka (wanita muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Kedelapan: Boleh bagi kaum muslimin meminta pertolongan pada orang kafir untuk menghalangi musuh yang akan memerangi kaum muslimin. Namun di sini dilakukan dengan dua syarat: (1) Ini adalah keadaan darurat sehingga terpaksa meminta tolong pada orang kafir. (2) Orang kafir tidak membuat bahaya dan makar pada kaum muslimin yang dibantu.
Kesembilan: Dibolehkan berobat dalam keadaan darurat ke negeri kafir.
Kesepuluh: Dibolehkan menyalurkan zakat kepada orang kafir yang ingin dilembutkan hatinya agar tertarik pada Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, orang-orang yang ingin dibujuk hatinya.” (QS. At Taubah: 60)
Kesebelas: Dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir selama tidak sampai timbul perendahan diri pada orang kafir atau wala’ (loyal pada mereka). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah dari beberapa orang musyrik. Namun ingat, jika hadiah yang diberikan tersebut berkenaan dengan hari raya orang kafir, maka sudah sepantasnya tidak diterima.
***
Inti dari pembahasan ini adalah tidak selamanya berbuat baik pada orang kafir berarti harus loyal dengan mereka, bahkan tidak mesti sampai mengorbankan agama. Kita bisa berbuat baik dengan hal-hal yang dibolehkan bahkan dianjurkan atau diwajibkan sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Semoga Allah selalu menunjuki kita pada jalan yang lurus. Hanya Allah yang beri taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
[Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal]

http://buletin.muslim.or.id/aqidah/interaksi-dengan-non-muslim